Hanya Anak Kos Sejati yang Mengerti Nikmatnya Mie Instan
Di antara banyak pengalaman hidup seorang anak kos, “hidup prihatin” adalah cerita yang mungkin mendominasi isi buku harian mereka selain berbagai cerita cinta yang dialami semenjak jadi anak kos. Menjalani peran sebagai anak kos, terutama yang berlabel mahasiswa tak cukup hanya mandiri menjaga diri dan pergaulan tapi juga harus pandai menjaga stabilitas isi dompet. Menjadi anak kos mau tak mau, suka tidak suka, mendorong banyak orang tak terkecuali mahasiswa perantauan melakukan penghematan uang bulanan apalagi untuk mereka yang berstatus penerima “beasiswa orang tua”. Dan dari sekian banyak pos anggaran uang bulanan, uang makan adalah pos yang kerap mengalami kebocoran jika cara hidup sebagai anak kos tak ubahnya seperti anak rumahan yang serba disediakan. Oleh karena itu menghemat uang makan menjadi kompetensi dasar yang diperlukan untuk menjadi seorang “anak kos sejati”.
Selektif memilih tempat makan. Hari-hari
pertama jadi anak kos memperbanyak referensi tempat makan menjadi hal
yang boleh jadi berguna di kemudian hari. Selain mencicipi berbagai
makanan di banyak tempat, mengetahui tempat makan berharga murah bisa
menolong seorang anak kos di kala darurat harus menghemat uang makannya.
Biasanya anak kos mencari tempat makan yang ideal yakni dekat rumah
kos, kampus atau kantor dengan harga miring dan porsi banyak, sementara
rasa bisa dinomortigakan. Memiliki referensi tempat makan berharga murah
juga berguna dan efektif sebagai strategi penghematan untuk beberapa
tujuan seperti menabung untuk menonton konser penyanyi idola atau
membeli buku. Setidaknya saya kerap melakukannya untuk tujuan itu.
tempat makan murah selalu menjadi buruan anak kos
Namun tak
banyak tempat makan yang “ideal” seperti keinginan anak kos. Hanya
tempat makan seperti “warung burjo” atau warteg yang bisa mengakomodir
kondisi anak kos di kala dompet menipis. Jika itu dirasa masih kurang
murah, angkringan menjadi alternatif sekaligus pelarian paling populer
untuk menghemat uang makan.
Jika di banyak kota warung burjo dan warteg menjadi tempat lunch favorit anak kos, maka di Yogyakarta angkringan menjadi tempat ideal anak kos untuk dinner.
Meski demikian harga di angkringan sebenarnya tak jauh beda dengan
warung makan lainnya. Perlu setidaknya Rp.7000 untuk makan di
angkringan, itupun dengan sajian minimalis. Bahkan untuk makan di
angkringan anak kos perlu “mengendalikan diri”. Suasana santai
angkringan nyatanya kerap membuat orang tidak sadar telah makan banyak.
Setidaknya saya pernah lupa diri di angkringan hingga menghabiskan Rp.
23000.
Cara lain yang dilakukan anak kos sejati untuk menghemat uang makan adalah “merangkum waktu makan”.
Tak perlu ditutupi, nyatanya banyak anak kos yang memilih dan akhirnya
terbiasa makan dua kali sehari dengan cara merangkum sarapan bersama
makan siang lalu ditutup dengan makan malam. Atau sebaliknya merangkum
makan siang dengan makan malam. Tak heran jika kadang susah membedakan
antara anak kos yang bersahaja dan irit dengan anak kos yang dompetnya
dilanda krisis.
Anak
kos sejati juga bisa memasak sendiri dengan memanfaatkan dapur rumah kos
atau membawa peralatan masak sederhana ke dalam kamar kos bisa juga
dilakukan untuk. Saya beruntung tinggal di rumah
kos yang pemiliknya mempersilakan dapur utama rumahnya digunakan oleh
anak-anak kos. Kami pun sering memanfaatkannya untuk membuat sarapan
pagi atau makan malam sederhana. Ada juga yang membeli mesin penanak
nasi berukuran kecil untuk ditaruh di kamarnya. Hal itu diyakini bisa
lebih hemat karena anak kos hanya perlu membeli lauk dan sayur
pelengkap. Sementara seorang teman Pascasarjana saya menaruh kompor di
dalam kamarnya. Pertama kali melihatnya saya termenung karena satu sudut
kamarnya diisi rak buku dan komputer sementara di sisi lainnya ada
kompor dan wajan.
Jika itu
masih kurang hemat, hidup prihatin yang lebih ekstrim pernah dilakukan
seorang teman saya yang lain dan mungkin juga banyak dilakukan oleh para
warga kos. Seorang teman tersebut pernah dalam dua bulan rela makan
hanya dengan lauk tempe untuk memenuhi banyaknya kebutuhan di awal
semester baru. Benar-benar anak kos sejati.
Tapi di luar
beberapa caraberhemat uang makan ala anak kos, ada satu perubahan
berarti yang terjadi pada diri saya semenjak menjadi anak kos. Sebelum
menjadi anak kos hingga tahun kedua menjalani kehidupan kos, saya
bukanlah orang yang gemar dengan makanan instan seperti roti, biskuit
dan mie instan. Makanan-makanan itu tak pernah ada dalam prioritas menu
makan ataupun camilan sehari-hari. Bahkan sebelumnya saya kerap meledek
teman-teman yang gemar makan mie instan sebagai orang yang “frustasi”.
Teman-teman pun membalas : “belum menjadi anak kos sejati jika tak tahu nikmatnya mie instan rebus!!”.
Benar atau tidak, bagi saya makanan instan tetaplah makanan orang
frustasi. Namun apa yang terjadi kini ?. Saya justru kerap pergi ke
supermarket untuk membeli biskuit dan beberapa bungkus mie instan.
Tak salah
jika mie instan disebut sebagai identitas anak kos. Harus diakui untuk
banyak alasan mie instan adalah pilihan utama banyak anak kos. Baik
memasak sendiri di kos atau membelinya di warung, mie instan adalah trending topic
di alam bawah sadar banyak anak kos. Mungkin perlu dilakukan penelitian
mendalam tentang hubungan batiniah antara sebungkus mie instan dengan
seorang anak kos.
Dulupun saya
selalu gagal menemukan letak kenikmatan mie instan. Mie instan tak lebih
dari sekedar makanan darurat dengan rasa biasa saja. Tapi kini saya
mengerti mengapa banyak anak kos menjadikan makanan ini sebagai idola
dan segalanya. Tak hanya enak dimakan di kala hujan, mie instan ternyata
menjadi lebih nikmat disantap di kala krisis keuangan.
Meski belum menjadikannya sebagai makanan favorit, semenjak
menjadi anak kos saya merasakan kalau semangkuk mie instan rebus atau
sepiring mie intan goreng memang makanan yang sangat nikmat. Semoga ini
pertanda saya telah berhasil menjadi anak kos sejati.