Jumat, 22 November 2013

Hanya Anak Kos Sejati yang Mengerti Nikmatnya Mie Instan

 

Di antara banyak pengalaman hidup seorang anak kos, “hidup prihatin” adalah cerita yang mungkin mendominasi isi buku harian mereka selain berbagai cerita cinta yang dialami semenjak jadi anak kos. Menjalani peran sebagai anak kos, terutama yang berlabel mahasiswa tak cukup hanya mandiri menjaga diri dan pergaulan tapi juga harus pandai menjaga stabilitas isi dompet. Menjadi anak kos mau tak mau, suka tidak suka, mendorong banyak orang tak terkecuali mahasiswa perantauan melakukan penghematan uang bulanan apalagi untuk mereka yang berstatus penerima “beasiswa orang tua”. Dan dari sekian banyak pos anggaran uang bulanan, uang makan adalah pos yang kerap mengalami kebocoran jika cara hidup sebagai anak kos tak ubahnya seperti anak rumahan yang serba disediakan. Oleh karena itu menghemat uang makan menjadi kompetensi dasar yang diperlukan untuk menjadi seorang “anak kos sejati”.

 

Selektif memilih tempat makan. Hari-hari pertama jadi anak kos memperbanyak referensi tempat makan menjadi hal yang boleh jadi berguna di kemudian hari. Selain mencicipi berbagai makanan di banyak tempat, mengetahui tempat makan berharga murah bisa menolong seorang anak kos di kala darurat harus menghemat uang makannya. Biasanya anak kos mencari tempat makan yang ideal yakni dekat rumah kos, kampus atau kantor dengan harga miring dan porsi banyak, sementara rasa bisa dinomortigakan. Memiliki referensi tempat makan berharga murah juga berguna dan efektif sebagai strategi penghematan untuk beberapa tujuan seperti menabung untuk menonton konser penyanyi idola atau membeli buku. Setidaknya saya kerap melakukannya untuk tujuan itu.
                      tempat makan murah selalu menjadi buruan anak kos

Namun tak banyak tempat makan yang “ideal” seperti keinginan anak kos. Hanya tempat makan seperti “warung burjo” atau warteg yang bisa mengakomodir kondisi anak kos di kala dompet menipis. Jika itu dirasa masih kurang murah, angkringan menjadi alternatif sekaligus pelarian paling populer untuk menghemat uang makan.
Jika di banyak kota warung burjo dan warteg menjadi tempat lunch favorit anak kos, maka di Yogyakarta angkringan menjadi tempat ideal anak kos untuk dinner. Meski demikian harga di angkringan sebenarnya tak jauh beda dengan warung makan lainnya. Perlu setidaknya Rp.7000 untuk makan  di angkringan, itupun dengan sajian minimalis. Bahkan untuk makan di angkringan anak kos perlu “mengendalikan diri”. Suasana santai angkringan nyatanya kerap membuat orang tidak sadar telah makan banyak. Setidaknya saya pernah lupa diri di angkringan hingga menghabiskan Rp. 23000.
Cara lain yang dilakukan anak kos sejati untuk menghemat uang makan adalah “merangkum waktu makan”. Tak perlu ditutupi, nyatanya banyak anak kos yang memilih dan akhirnya terbiasa makan dua kali sehari dengan cara merangkum sarapan bersama makan siang lalu ditutup dengan makan malam. Atau sebaliknya merangkum makan siang dengan makan malam. Tak heran jika kadang susah membedakan antara anak kos yang bersahaja dan irit dengan anak kos yang dompetnya dilanda krisis.
Anak kos sejati juga bisa memasak sendiri dengan memanfaatkan dapur rumah kos atau membawa peralatan masak sederhana ke dalam kamar kos bisa juga dilakukan untuk. Saya beruntung tinggal di rumah kos yang pemiliknya mempersilakan dapur utama rumahnya digunakan oleh anak-anak kos. Kami pun sering memanfaatkannya untuk membuat sarapan pagi atau makan malam sederhana. Ada juga yang membeli mesin penanak nasi berukuran kecil untuk ditaruh di kamarnya. Hal itu diyakini bisa lebih hemat karena anak kos hanya perlu membeli lauk dan sayur pelengkap. Sementara seorang teman Pascasarjana saya menaruh kompor di dalam kamarnya. Pertama kali melihatnya saya termenung karena satu sudut kamarnya diisi rak buku dan komputer sementara di sisi lainnya ada kompor dan wajan.

Jika itu masih kurang hemat, hidup prihatin yang lebih ekstrim pernah dilakukan seorang teman saya yang lain dan mungkin juga banyak dilakukan oleh para warga kos. Seorang teman tersebut pernah dalam dua bulan rela makan hanya dengan lauk tempe untuk memenuhi banyaknya kebutuhan di awal semester baru. Benar-benar anak kos sejati.
Tapi di luar beberapa caraberhemat uang makan ala anak kos, ada satu perubahan berarti yang terjadi pada diri saya semenjak menjadi anak kos. Sebelum menjadi anak kos hingga tahun kedua menjalani kehidupan kos, saya bukanlah orang yang gemar dengan makanan instan seperti roti, biskuit dan mie instan. Makanan-makanan itu tak pernah ada dalam prioritas menu makan ataupun camilan sehari-hari. Bahkan sebelumnya saya kerap meledek teman-teman yang gemar makan mie instan sebagai orang yang “frustasi”. Teman-teman pun membalas : “belum menjadi anak kos sejati jika tak tahu nikmatnya mie instan rebus!!”. Benar atau tidak, bagi saya makanan instan tetaplah makanan orang frustasi. Namun apa yang terjadi kini ?. Saya justru kerap pergi ke supermarket untuk membeli biskuit dan beberapa bungkus mie instan.
Tak salah jika mie instan disebut sebagai identitas anak kos. Harus diakui untuk banyak alasan mie instan adalah pilihan utama banyak anak kos. Baik memasak sendiri di kos atau membelinya di warung, mie instan adalah trending topic di alam bawah sadar banyak anak kos. Mungkin perlu dilakukan penelitian mendalam tentang hubungan batiniah antara sebungkus mie instan dengan seorang anak kos.
Dulupun saya selalu gagal menemukan letak kenikmatan mie instan. Mie instan tak lebih dari sekedar makanan darurat dengan rasa biasa saja. Tapi kini saya mengerti mengapa banyak anak kos menjadikan makanan ini sebagai idola dan segalanya. Tak hanya enak dimakan di kala hujan, mie instan ternyata menjadi lebih nikmat disantap di kala krisis keuangan.
 Meski belum menjadikannya sebagai makanan favorit, semenjak menjadi anak kos saya merasakan kalau semangkuk mie instan rebus atau sepiring mie intan goreng memang makanan yang sangat nikmat. Semoga ini pertanda saya telah berhasil menjadi anak kos sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar